DIABETES melitus
atau kencing manis merupakan penyakit metabolik. Penyakit ini ditandai
dengan kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) akibat kurangnya
kadar hormon insulin dalam tubuh.
Kadar gula darah yang tinggi
secara terus-menerus selama bertahun-tahun dapat menimbulkan komplikasi,
terutama pada mata, jantung, dan ginjal. Komplikasi diabetes pada mata
dapat menimbulkan kebutaan, yang sebenarnya dapat dihindari (avoidable
blindness) dengan manajemen diabetes yang baik, meliputi diet ketat,
olahraga, obat-obatan, mengontrol penyakit penyerta seperti hipertensi
dan kadar kolesterol tinggi, serta menghentikan kebiasaan merokok.
Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita diabetes di seluruh dunia, disusul katarak.
Pada
retinopati diabetik secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh darah
retina atau lapisan saraf mata sehingga mengalami kebocoran. Akibatnya,
terjadi penumpukan cairan (eksudat) yang mengandung lemak serta
pendarahan pada retina. Kondisi tersebut lambat laun dapat menyebabkan
penglihatan buram, bahkan kebutaan. Bila kerusakan retina sangat berat,
seorang penderita diabetes dapat menjadi buta permanen sekalipun
dilakukan usaha pengobatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun
2004 melaporkan, 4,8 persen penduduk di seluruh dunia menjadi buta
akibat retinopati diabetik. Dalam urutan penyebab kebutaan secara
global, retinopati diabetik menempati urutan ke-4 setelah katarak,
glaukoma, dan degenerasi makula (AMD= age-related macular degeneration).
Diestimasi
bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan meningkat dari
117 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Di Asia diramalkan
diabetes akan menjadi ”epidemi”, disebabkan pola makan masyarakat Asia
yang tinggi karbohidrat dan lemak disertai kurangnya berolahraga.
Akibatnya, kebutaan akibat retinopati diabetik juga diperkirakan
meningkat secara dramatis.
Belum ada data resmi
Data
resmi jumlah penderita retinopati diabetik di Indonesia belum ada.
Dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1995,
kelainan ini belum didefinisikan dan masih dimasukkan ke dalam ”kebutaan
lain-lain” sebanyak 28 persen.
Data Poliklinik Mata RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM) yang tidak dipublikasikan menunjukkan bahwa
retinopati diabetik merupakan kasus terbanyak yang dilayani di Klinik
Vitreo-Retina. Dari seluruh kunjungan pasien Poliklinik Mata RSCM,
jumlah kunjungan pasien dengan retinopati diabetik meningkat dari 2,4
persen tahun 2005 menjadi 3,9 persen tahun 2006.
Angka kejadian
retinopati diabetik dipengaruhi tipe diabetes melitus (DM) dan durasi
penyakit. Pada DM tipe I (insuln dependent atau juvenile DM ), yang
disebabkan oleh kerusakan sel beta pada pankreas, umumnya pasien berusia
muda (kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik ditemukan pada 13
persen kasus yang sudah menderita DM selama kurang dari 5 tahun, yang
meningkat hingga 90 persen setelah DM diderita lebih dari 10 tahun.
Pada
DM tipe 2 (non-insulin dependent DM), yang disebabkan oleh resistennya
berbagai organ tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa usia 30 tahun
atau lebih), retinopati diabetik ditemukan pada 24-40 persen pasien
penderita DM kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 53-84 persen
setelah menderita DM selama 15-20 tahun.
Secara klinis retinopati
diabetik dibedakan atas non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
dan proliverative diabetic retinnopathy (PDR). NPDR atau tahap awal yang
lebih ringan ditandai dengan kebocoran pembuluh darah, perdarahan
retina, dilanjutkan dengan penutupan (oklusi) kapiler darah retina.
Retina menjadi kurang suplai oksigen dan nutrisi dari darah.
Terjadilah
tahap lanjut, yaitu PDR, karena retina yang sudah iskemik atau pucat
tersebut bereaksi dengan membentuk pembuluh darah baru yang abnormal
(neovaskular). Neovaskular atau pembuluh darah ”liar” ini merupakan ciri
PDR dan bersifat rapuh serta mudah pecah sehingga sewaktu-waktu dapat
berdarah ke dalam badan kaca yang mengisi rongga mata (perdarahan badan
kaca atau pendarahan vitreus), menyebabkan pasien mengeluh melihat
floaters (bayangan benda-benda hitam melayang mengikuti pergerakan mata)
atau mengeluh mendadak penglihatannya terhalang.
Sering kali
pasien retinopati diabetik tidak mengalami tanda dan gejala sekalipun
sudah dalam tahap PDR yang berat sampai terjadi perdarahan badan kaca.
Penyebab gangguan penglihatan lainnya pada retinopati diabetik adalah
bengkak atau menumpuknya cairan di daerah pusat retina, yaitu makula,
suatu kondisi yang disebut edema makula
Akibat edema makula,
pasien mulai mengalami kesulitan membaca/menulis, menonton TV, atau
mengenali muka orang. Jaringan neovaskular yang terus bertumbuh
(proliferatif) pada PDR juga dapat berpotensi menarik retina hingga
terlepas dan/atau robek (ablasi retina). Ablasi retina pada retinopati
diabetik berakibat kebutaan dan umumnya sulit ditangani.
Mencegah sedini mungkin
Prinsip
utama dalam menangani retinopati diabetik adalah pencegahan dengan
deteksi dini sebelum terjadi gangguan penglihatan yang berat. Walaupun
belum mengeluh dan tanpa melihat berapa lama ia menderita diabetes,
seorang pasien harus dirujuk ke dokter mata untuk menjalani pemeriksaan
mata awal (skrining). Apabila retinopati diabetik sudah teridentifikasi,
dilakukan manajemen sedini mungkin bagi penderita dengan melakukan
pemeriksaan mata secara berkala, minimal satu kali dalam setahun.
Dalam
pemeriksaan, mata akan ditetes supaya pupil menjadi lebar dan dokter
mata dapat mengamati retina secara saksama. Sebaiknya dilakukan untuk
dokumentasi dengan foto fimdus , atau pencitraan lain yang diperlukan.
Terapi
utama pada retinopati diabetik adalah tindakan fotokoagulasi laser pada
retina. Tindakan laser bertujuan menutup kebocoran pembuluh darah
retina, mengurangi edema makula, dan mencegah timbulnya rangsang untuk
pembentukan neovaskular. Secara umum, tindakan laser pada retina yang
dibarengi dengan manajemen diabetes yang baik dapat mengurangi risiko
buta hingga 90 persen.
Bedahan vitrektomi, yaitu tindakan bedah
mikro yang bertujuan membersihkan perdarahan badan kaca, membebaskan
retina dari segala tarikan akibat pertumbuhan neovaskular dan
mengaplikasikan sinar laser secara langsung di dalam bola mata. Pada
kasus-kasus PDR, vitrektomi dapat mencegah kehilangan penglihatan yang
lanjut. Terapi lain yang baru berkembang dalam dekade terakhir adalah
pemberian obat, seperti golongan kortikosteroid dan Anti-VEGF
(VEGF=vascular endothellial grwowh factor), yang bertujuan mengurangi
edema makula dan menghentikan pertumbuhan neovaskular.
Penting
untuk diketahui, sering kali segala tindakan tersebut tidak dapat
mengembalikan penglihatan yang sudah hilang. Kadang kala, segala
tindakan tersebut hanya dapat mencegah perburukan lebih lanjut.
Komplikasi
diabetes, termasuk kebutaan, dapatlah dicegah dengan kontrol yang baik
dan deteksi dini untuk identifikasi penyakit dan terapi seawal mungkin.
Untuk skrining diabetes dan retinopati diabetik perlu dikembangkan
strategi yang tepat, sebagai contoh di India, dijalankan skrining dengan
telemedicine.
Di Indonesia sudah banyak didirikan pusat kesehatan
yang mampu memberi layanan komprehensif bagi penderita diabetes, tetapi
masih terkonsentrasi di kota-kota besar sehingga cakupannya masih
sangat kurang. Untuk menangani pasien-pasien diabetes diperlukan kerja
sama berbagai pihak, meliputi WHO, pemerintah, departemen kesehatan,
organisasi profesi dokter, dokter mata dan dokter penyakit dalam serta
ahli endokrin, serta LSM nasional maupun internasional.